Asal Mulanya Pendidikan Nasional – Bagi masyarakat Indonesia, setiap tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tentu saja tidak lupa dengan sosok Ki Hadjar Dewantara.
Momentum untuk mengingat kembali nilai perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam menegakkan fondasi pendidikan di Indonesia, sehingga tumbuh rasa patriotisme dan nasionalisme pada setiap insan pendidikan Indonesia.
Baca juga : Rumah Kedua Bagi Anak Kebutuhan Khusus Di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Hari Pendidikan Nasional ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tentang tentang Hari-Hari Nasional Jang Bukan Hari Libur. Pada peraturan ini, Hardiknas ditetapkan bersama Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Angkatan Perang 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan 10 November, dan Hari Ibu 22 Desember.
Hari pendidikan nasional Lantas, seperti apa sosok Ki Hadjar Dewantara? Ki Hadjar Dewantara yang memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat lahir dari keluarga ningrat di Yogyakarta, 2 Mei 1889.
Berdirinya Hari Pendidikan Nasional
Kenapa diperingati setiap 2 Mei? Berikut pembahasannya.
Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Sebab hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kritiknya kepada kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan bersama dua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai” ke Belanda.
Usai kembali ke Indonesia, ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.
Dari situ, lahir Perguruan Taman Siswa pada 1922 yang menyediakan layanan pendidikan bagi masyarakat Bumiputra. Mereka adalah anak-anak yang saat itu tidak diberikan akses pendidikan yang sama seperti anak bangsawan dan Belanda.
Dengan adanya Taman Siswa, Ki Hajar diterapkannya sistem among atau pendidikan berjiwa kekeluargaan yang berpikir pada kondrat alam dan kemerdekaan. Dasarnya adalah semangat kebangsaan dan kebebasan berpendapat.
Sistem ini juga dapat merintis pendidikan yang humanis, populis, dan memelihara kedamaian dunia. Dengan menentang sistem pendidikan yang jamak saat itu, yakni menitikberatkan pada perintah dan sanksi; patuh soal seragam, sistem belajar, dan lain-lain yang tidak berkaitan dengan proses berpikir; serta sanksi jika tidak patuh pada sebuah aturan.
Semboyan Ki Hadjar Dewantara
Disamping itu Ki Hadjar Dewantara memiliki semboyan yang selalu ia terapkan pada sistem pendidikan. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi :
“ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Arti dari semboyan tersebut adalah:
- Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik)
- Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide)
Filosofi Sosok Tut Wuri Handayani
Mengenai filosofi sosok Tut Wuri Handayani (dari belakang memberi seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April 1959.
Sampai kini, semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia dan terus digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.
Pentingnya pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara diperingatan Taman Siswa ke-30 Tahun, Ki Hadjar Dewantara mengatakan, “Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui sebuah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri”.
Pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut bermaksud dengan menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari sebuah proses pendidikan, yaitu “agar anak-anak berpikir sendiri”. Sehingga dengan begitu, mereka menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan dianggap berhasil ketika anak mampu mengenali tantangan apa yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya.